Suatu hari seorang ayah dari keluarga sangat kaya membawa anaknya ke
desa untuk menunjukkan kepadanya kehidupan orang-orang miskin. Mereka
tinggal beberapa hari di rumah seorang petani miskin. Sekembalinya dari
desa, sang ayah bertanya kepada anaknya,” bagaimana menurutmu
perjalanan kita ini?”
“Hebat, Ayah,” kata anaknya.
“Apakah kau melihat bagaimana orang-orang miskin itu hidup?”
“Ya.”
“Lalu, pelajaran apa yang dapat kau ambil dari perjalanan itu?” tanya ayahnya dengan bangga.
“Aku baru sadar, bahwa kita punya dua anjing sedang mereka punya empat.
Kita punya kolam renang luasnya sampai setengah kebun, sedang mereka
punya sungai yang tak memiliki ujung. Kita mengimpor lentera untuk
kebun kita, mereka punya bintang-bintang di malam hari. Teras kita
sampai halaman depan, sedang mereka seluruh horizon. Kita punya tanah
tempat tinggal kecil, mereka punya halaman sejauh mata memandang. Kita
punya pembantu-pembantu yang melayani kita, sedang mereka memberikan
pelayanan kepada orang lain. Kita membeli makanan kita, mereka memetik
sendiri makanan mereka. Kita memiliki pagar mengelilingi dan melindungi
kekayaan kita, mereka punya teman yang melindungi mereka.
Sampai
di sini, sang ayah tak bisa berkata apa-apa. Kemudian anaknya
menambahkan,” Ayah, terima kasih, engkau telah menunjukkan betapa
miskinnya kita.”
****
Kita sering kali lupa pada segala yang kita miliki dan memusatkan perhatian hanya pada apa-apa yang tidak kita miliki.
Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kisah dan cerita yang bisa
kita petik hikmahnya. Rasullallah pernah bersabda,”Kalimat hikmah
adalah milik orang mukmin yang hilang.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Maksudnya, di mana pun orang mukmin menemukan hikmah maka ia berhak
menyimpannya. Ali bin Abi Thalib, sahabat nabi yang paling alim pun,
berkata,”Ambillah hikmah dari sumber mana pun.”
by: khoirudin 17 oktober 2012
0 Komentar