(Tidak Tahu Judul Yang Tepat)


Oleh: Moh. Asrofi (PU LPM Laun 2009/2010)


Empat hal yang harus selalu dipegang; truth, justice, egaliter, dan humanisme



Pertengahan tahun 2006, dengan malu-malu kulangkahkan kaki memasuki sebuah kampus kecil di pinggir sungai. Perasaanku mengatakan kampus kecil ini tidak bisa dikatakan kampus. Untuk ukuran kampus ini terlalu kecil karena --- dilihat dari ukuran --- sekolahku sebelumnya jauh lebih besar dari bangunan yang dikatakan kampus ini.

Pertama kali kuinjakan kaki langsung menuju sebuah bangunan kecil yang berada paling depan. Awalnya, sebelum aku memasuki bangunan ini aku beranggapan bahwa bangunan kecil di bawah auditorium itu tak kira pos satpam. Ternyata dugaanku salah besar, itu tak lebih dari sebuah kantor. Aku tahu itu sebuah kantor karena ketika masuk kulihat papan dengan warna dasar biru dan ada tulisan berwarna hijau bertuliskan “Kantor Badan Eksekutif Mahasiswa”.

Masih teringat jelas, saat pendaftaraan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMABA) --- yang lebih dikenal dengan Ospek --- pertama kalinya aku memasuki ruangan yang unik itu. Tersusun sebuah gambar struktur kepengurusan para aktivis mahasiswa yang masuk dalam struktur kabinet BEM. Dari sekian banyak UKM, Menteri, dan lembaga bawahan menteri, ada satu yang menarik perhatian saya. Berawal dari melihat tulisan Menpema (Menteri Pemberdayaan Mahasiswa) dibawah tertulis Lembaga Pers Mahasiswa. Dalam hati berkata janggal sekali, ada sebuah lembaga pers tetapi tidak ada tanda-tanda dinamika pemikiran serta kegenitan intelektual mahasiswa yang tertuang dalam tulisan di kampus ini.

Aku tidak mau su’udzan. Saya ingat-ingat kembali, ternyata setelah aku ingat-ingat kembali aku tidak su’udzan tetapi sebuah fakta. Tidak ada produk-produk dari sebuah lembaga persma. Buletin saja tidak ada apalagi majalah dan jurnal. Bahkan fakta itu sangat memilukan mading sampai satu tahun tidak pernah diganti tulisanya selalu itu-itu terus. Hanya empat lembar kertas tulisan yang berjudul “Paus dan Al-Qur’an” dan itupun bersumber dari internet. Sungguh ironis.

*****

Memasuki dunia mahasiswa adalah dunia yang jauh berbeda dengan dunia siswa. Ada kata maha sebelum siswa. Setahuku kata maha itu sesuatu yang sangat sempurna, bahkan melebihi kata yang mengikutinya. Kalau mahasiswa berarti siswa yang sangat sempurna. Ada banyak gelar yang melekat dalam diri mahasiswa. Di antaranya adalah agen of change, agen of intelectual, centrum culture dll. Setidaknya itu yang saya ingat.

Sebenarnya saya sendiri bingung, mulai dari manalagi saya harus melanjutkan cerita karena mendengarkan cerita itu sangat membosankan. Mungkin kalian juga seperti saya, yang sangat bosan ketika mendengarkan cerita yang tidak jelas jluntrunganya. Tapi secara garis besar dunia mahasiswa adalah dunia ilmiah, dunia intelektual, dunia ide, dunia gagasan. Lalu di mana para mahasiswa akan mengaktualisasikan dan mempublikasikan dunia-dunia yang menjadi tanggung jawabnya? Kalau jawabku ada di persma.

Jadi teringat dulu, dan sampai sekarang juga belum kutemukan jawaban mengapa saya begitu menyukai dunia persma? Padahal saat itu, persma tidaklah begitu populer dalam gerakan mahasiswa yang ada di Blitar. Rasanya saya dulu tersesat dalam jalan kebenaran. Kalau dilihat dari kondisi saat itu. Ketika melihat kondisi kampus tentang persma yang ironis, bukan saja ironis tetapi sangat ironis sepertinya tidak mungkin untuk mengenal persma dan masuk terlalu jauh ke dalam dunia persma. Toh, faktanya saya dapat melihat dengan detail dunia literasi dialektis ini.

Selama masa-masa menjadi mahasiswa, tiada yang lebih indah selain bisa berproses dalam menemukan jati diri di persma. Proses untuk bisa memahami apa itu persma tidaklah mudah. Ada sebuah penyakit dalam mahasiswa yaitu penyakit seperti katak dalam tempurung. Sehingga ini yang menyebabkan takabur. Kadang kita sudah merasa besar dalam kampus tetapi sebenarnya dunia ini luas.

Pers mahasiswa adalah entitas dari dunia-dunia itu semua. Makanya dunia persma adalah dunia yang sangat tidak menarik. Karena kegiatanya hanya berkutat pada membaca, berdiskusi, menulis. Dunia persma adalah dunia jurnalistik, yang seharusnya juga mencerminkan idealisme jurnalistik. Tapi faktanya sekarang berbeda, persma tak lebih dari ekskul menulis, sekedar menulis yang mencurahkan uneg-unegnya menjadi kata-kata dengan harapan menjadi karya hebat. Bahkan yang ekstrem kadang itu sudah menganggap diri yang paling hebat.

Mungkin bagi yang mau berproses di persma sebaiknya memikirkan kembali. Karena dunia persma adalah proses untuk manusia yang siap diasingkan. Dunia persma dunia sangat berbeda dan kritis, kalau tidak kritis berarti tidak lebih dari sekedar penulis medioker kampungan.

Dalam fakta sejarah persma merupakan ujung tombak dari perjuangan melawan ketidakadilan. Mungkin mulut bisa dibungkam tetapi penalah yang akan berbicara. Tentu kita masih ingat, bahwa perjuangan melawan penjajah Belanda menuntut politik etis dilakukan oleh mahaiswa Hindia-Belanda melalui tulisan-tulisan.

Lalu bagaimana dengan kita? Mungkin sebelum kita melanjutkan lebih dalam tentang dunia persma, sebaiknya kita mengenal dulu siapa diri kita istilah kerennya who am i? Gie, seorang aktivis mahasiswa yang juga berjuang melawan ketidakadilan lewat tulisan menjawabnya:

Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: Kebenaran.

Lalu bagaimana mimpimu? Bangunlah mimpi-mimpi itu yang tinggi dan jangan mengingkari eksistensi sebagai mahasiswa. Gie juga menuliskan mimpi-mimpinya:

Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "Manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.

Lalu, apa yang harus ditulis oleh persma? Tentu saja yang pertama kita lihat kondisi di sekitar kita kawan. Banyak orang-orang yang sebenarnya ingin memberontak dengan keadaanya karena terus didera ketidakadilan. Itu adalah tugas dari mahasiswa untuk menyuarakan. Bahkan kadang ada yang sebenarnya ia dijajah oleh ketidakadilan tapi tidak sadar. Karena hegemoni membuatnya begitu.

Menulis bukan untuk gaya-gayaan dan bukan juga unjuk kepintaran, lebih dari itu, menulis adalah usaha perjuangan. Saya bagian dari orang-orang yang percaya bahwa sebuah tulisan dapat mempengaruhi seseorang. Tentu kita masih ingat Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru. Tulisan-tulisannya dapat mempengaruhi pembacanya, tak heran jika orde baru membakar buku-bukunya dan melarang terbit.

Satu hal yang ingin saya tekankan jika kalian memutuskan untuk berjuang melalui pers mahasiswa. Jangan pernah menulis hal yang tak pernah kalian yakini itu adalah sebuah usaha untuk mencerahkan. Jangan terjebak pada hal global-massal-banal yang sebenarnya bacin. Kamu bingung? Tontonlah televisi dan pikirkan mana yang lebih penting antara pernikahan William-Kate dengan Budaya cerita rakyat nusantara yang hampir punah, “sesuatu”nya Syahrini dengan kasus Mesuji (petani yang disembelih oleh tentara), perseteruan Angel Lelga-Machica Mochtar dengan kondisi petani yang ditembak TNI di Kebumen. Dalam banyak hal kawan, kamu harus berpikir sadis demi perubahan.

Blitar --- penjaratembok32 --- 11 Oktober 2012

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement