Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
Apakah kau percaya bahwa hanya
dengan 26 huruf itu aku bisa membuatmu menangis, tertawa, menyayangi, membenci, merenung, dan
memahami? Aku akan mencoba membuktikan kepadamu, akan kubacakan sebait puisi
untukmu: Bila ada cukup sisa/ jahitlah
lembaran langit tadi untuk/ sepasang tikar sembahyang/sebentang untukku, yang
masih belajar jadi imam/ sebentang lagi untukmu, makmum yang paling kusayang.
***
“Aduh bentar lagi bulan Juni aku
harus beri kado apa ya?” Terhentak aku saat melihat kalender putih bergambarkan
sekolahanku di samping tempat tidur.
“Andi sayang, cepet mandi nak. Udah
siang ni!” Teriak ibuku yang sedang kerepotan memasak nasi untukku.
“Iya Bu, bentar lagi.”
“Cepat sayang, entar telat lagi loh.”
“Iya Bu.”
Namaku Andi, aku sekarang kelas XI
di SMK 1 Dharma. Ya inilah aku, setiap hari ada saja tingkahku saat disuruh
mandi dan aku selalu terburu-buru pergi ke sekolah karena telat bangun. Ya
maklum namanya aja laki-laki. Aku
tinggal bersama dengan ibuku sedangkan ayahku tak pernah kutahu dimana batang
hidungnya sampai sekarang. Meskipun aku lahir dari keluarga broken home tapi aku harus tetap bisa membuktikan
tetap jadi yang terbaik!
Setiap hari ibu selalu memasakkan
sarapan. Sementara itu, setiap kali aku telat bangun setiap kali itu juga aku
tidak sarapan. Tapi ibuku tidak akan melepaskan aku jika aku belum sarapan. Yah,
hitung-hitung hemat uang jajan juga.
Meskipun terlihat pemalas, tapi
setiap hari aku selalu membawa buku dan bolpoin. Bukan untuk apa-apa tapi kedua
benda itu sebagai salah satu alatku untuk mencatat puisi dikala aku mendapatkan
ide. Sebab, ide itu selalu muncul tiba-tiba dan jika tidak segera ditangkap
oleh kata-kata, maka akan menguap sia-sia. Bagiku, kata-kata dalam setiap puisi
adalah sebuah nafas dan setiap huruf memiliki cerita sendiri-sendiri jika
digabungkan dengan huruf yang lain.
Tapi, beberapa karyaku sempat
hilang karena banjir. Itu yang membuatku sedih.
“Andi cepat makannya apa mau ibu
suapin?” Desak ibuku yang terus memaksaku makan. Dan aku tahu itu lebih kepada
sindirian ketimbang sebuah tawaran.
“Gak bu, lagian udah dikit.” Jawabku sambil minum. “Bu, aku
berangkat dulu ya? Assalamu’alaikum.”
Salamku sambil mencium tangannya yang sudah mulai keriput dan kering karena
usia.
“Ia hati-hati ya nak. Wa’alaikum salam.” Sahut ibuku yang
melihatku dengan matanya yang sejuk dan perlahan demi perlahan aku menghilang
dari pandangannya.
***
“He
kenapa wajahmu kayak gitu?” Tegur Rizal sambil melempar kertas padaku.
“Apa-apaan
sih kamu? Aku sedang bingung mau beri kado apa? Bentar lagi kan bulan Juni.”
Sambarku sekenanya sambil melempar kembali kertas contekan yang dibuat rizal
sewaktu ujian tadi.
“Emang untuk siapa? Eh
jangan-jangan kamu udah punya pacar ya? Siapa namanya? Dia sekolah dimana? Apa anak
sini?” Tanya Rizal bagai suara tembakan yang bertubi-tubi.”Terus kapan kamu
jadian? Aku kok gak tahu.”
“
Udah cukup?” Sahutku dengan cepat sebelum Rizal memulai serangan pertanyaan
yang lebih panjang lagi. “Aku gak punya pacar!”
“Bener nih gak mau punya pacar?”
“Iya
bener.”
“Jangan-jangan
kamu gigolo ya?”
“Enak
aja, eh ada kerjaan serabutan gak yang bisa diatur jadwalnya sepulang sekolah.”
“Sorry kawan, kalau yang seperti itu
pasti gak ada. Apalagi kita masih
sekolah.”
“Gimana
ya caranya dapetin uang?
“Curi
di kopsis aja pasti dapat banyak.”
“Kurang
ajar kamu!”
“Gitu
aja marah. Ya kalau itu aku gak bisa
bantu, oh ya aku pergi dulu ya? Ada cewek yang datang.”
“Ehm
dasar kamu ini yang diurusi cewek terus.”
Rizal segera menata rambut dan
tersandung ketika mendatangi Icha. Ya Icha, ia adalah perempuan cantik dengan
kerudung yang selalu membalut rambutnya dan semakin membuatnya terlihat menarik.
Mungkin semua laki-laki akan langsung terpukau dengannya. Apalagi dia sopan, ramah,
dan keluarganya sangat kaya. Oleh karena ia berasal dari keluarga yang kaya dan
setiap kali aku ingin menyapanya aku selalu malu dengan keadaanku yang hanya anak
penjual gorengan. Ah, maksud hati hendak memeluk gunung, tetapi apa daya tangan
tak sampai. Aku juga merasa bagai pungguk yang merindukan bulan.
***
Mataku mulai panas melihat layar
monitor yang menurutku terlalu besar untukku. Kipas-duduk yang di sebelah
monitor server terus menoleh kekiri
ke kanan. “Mas ada yang kosong gak?” Tanya seorang perempuan dengan nafas
terengah-engah dengan rambut terkuncir lurus.
“Maaf mbak udah penuh semuanya.” Jawab
kasir warnet sambil terus memakan kacang kulit yang ada di atas mejanya.
“Andi
aku boleh pinjam sebentar?” Suara terengah-engah itu mulai berpindah ke
tempatku.
“Eh,
Icha? Ngapain kamu disini?” Jawabku sekenanya karena terkejut.
“Laptopku
sedang rusak dan aku harus menyelesaikan tugas Bu Ratna. Aku sudah keliling
dari tadi tapi semuanya penuh, aku boleh pinjam bentar gak?”
Aku
masih melamun menatapnya. Dia sangat berbeda ketika dia melepaskan kerudung
yang selama ini menutupi rambutnya ketika berada di sekolah. “An boleh gak? Kok
malah bengong?” Tegurnya dengan nada tinggi.
“Oh ya, gak apa-apa kok kamu pakai
aja. Ini silakan duduk!” Aku mulai terbangun dari lamunanku dan aku berdiri
bergeser tempat duduk. Tiba-tiba pada suatu laman, aku melihat ada pengumuman
tentang sayembara menulis puisi.
“Cha, tolong kembali ke halaman
sebelumnya!”
“Yang mana?”
“Yang ada poster lombanya tadi loh.”
“Yang ini? Emang kamu mau ikut?”
“Aku pikir apa salahnya, lagian aku
perlu uang cepat.”
“Bentar. Ini kalau gak salah lomba
yang tadi dikasih tahu ayahku dech!” Wajah
Icha berubah serius.
“Tadi ayahku nyuruh aku ikut lomba ini, gimana kalau kita ikut bareng? Lagian
ini hanya lomba puisi.”
“Iya sih, tapi aku sudah jarang
banget buat puisi dan semua karya-karyaku sudah hilang semua waktu banjir
kemarin.”
“Tapi bukan berarti kamu gak bisa
buat lagi kan?” Tanyanya dengan nada yang mengejek. “Kan kamu juga pernah juara
perlombaan di tingkat regional dan nasional, pasti kamu bisa memenangkan ini. Apalagi
ini kan tingkat Asia, masak kamu gak ikut?”
“Iya deh, aku ikut tapi kenapa ayah
kamu nyuruh kamu ikut?”
“Ehm, lihat deadlinenya tanggal 1 Juni dan sekarang tanggal 31 Maret, berarti
kurang dua bulan lagi.” Alihnya seperti menutupi sesuatu.
“Ya aku tahu, tapi jangan
seneng-seneng dulu. Meskipun masih dua bulan lagi tapi itu akan terasa cepat
jika kamu terlalu meremehkannya”
***
Tanggal
15 April
Selama beberapa hari ini aku terus
dan terus memikirkan kata-kata, tetapi setiap kali kata-kata itu datang dan
setiap kali itu pula kata-kata itu hilang. Seperti kata-kata itu menjadi hantu
untukku selama beberapa hari ini.
“Zal, ayo kita pulang.” Kataku
kepada Rizal.
“Gak, aku pulang bareng Tasya aja. Sorry
ya kawan, ada urusan dikit.”
“Urusan apa? Urusan cewek? Ya udah
aku pulang dulu!”
“Ok, hati-hati kawan!”
“Iya kamu juga, jangan sampai belok
langsung pulang.”Jawabku dengan agak menyindir sambil terus mengayuh sepeda tua
milik ibuku.
Aku terus memikirkan kata demi kata
yang akan aku tulis untuk puisiku. Tapi semakin aku memeras otakku semakin jauh
kata-kata itu aku temukan. Seperti kata-kata itu hantu bagiku, “Ah kenapa dari
kemarin aku gak bisa tulis satu katapun?” Pikirku dalam hati dan kesal atas
otakku yang dari kemarin masih belum bisa memikirkan kata-kata.
Samar-samar kata-kata itu mulai
bermunculan hingga aku mengerem sepedaku secara tiba-tiba hanya untuk mengambil
bolpoin. Tak sempat aku mengambil bolpoin itu apalagi menuliskannya pada kertas.
Justru hanya terdengar suara klakson. Sepertinya waktu tidak memberikanku
kesempatan untuk memikirkannnya. Dan, semua yang teringat hanya gelap!
***
Tanggal 16 April
Aku merasakan sakit pada tanganku, aku
mencoba untuk menggerakannya jari-jemariku dengan perlahan dan membuka mataku. Mataku
terasa berat, aku hanya bisa merasakan gelap. Kegelapan yang tak pernah aku
bayangkan. “Bu? Ibu disanakan?” Aku terus meraba-raba disekitarku, hingga aku tersungkur
tersandung kursi yang ada di samping tempat tidurku.
“Ibu-ibu di sanakan?”Aku terus
mencoba bangkit dan mencari ibuku dalam kegelapan. “Kenapa semuanya gelap? Ibu
di mana?”
“Andi? Kamu udah bangun, nak?” Ibuku
langsung memelukku dan mengarahkanku tidur lagi. “Kamu istirahat aja ya sayang?
Maaf ibu belum bisa berbuat apa-apa.”
Ibuku menangis di sampingku hingga
air matanya terus membasahiku, “Ibu, aku kenapa bu? Kenapa semuanya gelap
seperti ini? Apa aku buta? Jawab Bu, jawab!”
Desakku semakin membuat ibuku
menyesali dirinya sendiri dan sekarang aku harus hidup dalam kegelapan.
Setiap hari aku hanya sendirian
menghabiskan waktu luangku di kamar. Tidak ada lagi bolpoin. Tidak ada lagi
kertas. Dan, tidak ada lagi puisi. Yang ada hanya kegelapan. Aku jarang makan. Kehidupanku berubah sejak saat itu,
saat waktu tidak memberiku kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ingatanku kembali kepada gadis yang
dulu sangat aku kagumi. Ketika kerudung membalut wajahnya yang putih, pipinya
yang tembem, dan suaranya yang merdu ketika bertanya padaku.
“Kenapa kau mengagumi puisi?” Tanyanya
saat itu.
“Puisi itu ajaib. Puisi tersusun
dari kata, kata terdiri dari huruf-huruf. Apakah kau percaya hanya dengan 26
huruf aku bisa membuatmu menangis, tertawa, menyayangi, membenci, merenung, dan memahami? Aku akan
membacakan sebait puisi untukmu.”
“Oh
ya?”
“Iya,
tetapi tidak sekarang.”
Dan
setiap kali aku semakin mengingatnya, maka akan semakin sakit hatiku.
Ibuku
dengan setia menuliskan tiap perkataanku hingga menjadi sebuah kumpulan puisi. Aku
akhirnya mulai bangkit meski puisi yang aku tulis adalah puisi-puisi tentang
kesedihan. Aku sering protes kepada Tuhan, tetapi Ibuku selalu mengatakan: Kerasnya semangat tidak akan mampu menembus “dinding”
takdir Tuhan. Dan, Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik bagi kita, meskipun
kadang itu sulit bagi kita untuk menerimanya. Tetapi Tuhan selalu tahu terhadap
apa yang kita butuhkan bukan kita inginkan.
“Lalu kenapa aku menjadi seperti ini? Doaku
tidak pernah dikabulkan!”
Ibuku
menjawab, “Sekalipun dilakukan secara rutin, tapi jika ada kelambatan waktu
pemenuhan doa, maka janganlah engkau putus harapan, sebab Allah menjamin untuk
mengabulkan doa apa yang Dia kehendaki untukmu dan bukan menurut apa yang kau kehendaki,
dan waktunya adalah sesuai dengan kehendakNya, bukan sesuai kehendakmu.”
“Kau
tahu kenapa Alfa edision dikeluarkan dari sekolah?” Kata Ibuku lagi, “Agar ia
bisa melihat dunia lain untuk mencari jalan menemukan lampu untuk kegelapan
malam.”
Aku
mengangguk, mungkin aku mulai paham. Tapi, dalam hatiku, aku masih bingung
dengan ucapan ibuku.
“Kau
tahu kenapa kau buta?”
Aku
nyaris terdiam mendengarkan setiap perkataan ibuku.
“Agar
kau bisa melihat kemampuanmu yang lain yang luar biasa.” Kata ibuku, “Sekarang,
tulislah puisimu.”
Aku
mulai menulis puisi seperti dulu lagi. Ibuku mengisikan formulir dan
mengirimkan karyaku.
***
Aku
merasakan perban mulai dibuka dari kepalaku. Perlahan aku membuka mata. Tiba-tiba
aku kembali bisa merasakan cahaya yang menerobosi kegelapan. Orang pertama yang
kupeluk adalah ibuku. Air mata bahagia mengalir hangat di pipi. Uang yang masih
tersisa kuberikan untuk ibu sebagai modal. Sementara itu, aku mengambil uang beberapa
saja untuk membeli hadiah buat seseorang yang juga mengisi hari-hariku.
Dan,
hari yang ditunggu itu datang. Kami berjanji akan bertemu di lapangan sepak
bola ketika senja. Aku menitipkan pesan tersebut kepada Rizal agar menjadi
kejutan untuk gadis yang kupuja.
“Sudah lama menunggu?” Tanyaku.
“Ah, tidak. Katanya kau mau membacakan puisi untukku?” Tanya
Icha yang sedang duduk di sampingku. Sementara itu, senja menjadi pemandangan
yang tak kalah indahnya dalam hatiku.
“Tentu.”
Aku pun mulai membacakan puisi, “Bila ada
cukup sisa/ jahitlah lembaran langit tadi untuk/ sepasang tikar
sembahyang/sebentang untukku, yang masih belajar jadi imam/ sebentang lagi
untukmu, makmum yang paling kusayang.”
“Puisi
yang indah.”
“Kau
tahu kenapa aku sekarang ada di sampingmu?”
Icha
menggeleng.
“Karena
mungkin aku akan jadi imammu dan kau jadi makmumku yang paling kusayang.”
Senjapun
semakin mekar. Seperti hati kami. Aku hampir tidak bisa menggambarkan betapa
bahagianya aku, seperti rangkaian huruf abcdefghijklmnopqrstuvwxyz yang
membentuk kata-kata bermakna indah. Tak terkira banyaknya.
Blitar, 2013
0 Komentar