Foto: Serat Wulangreh |
Sepenggal kalimat falsafah jawa yang patut untuk diamalkan kembali pada zaman dimana budaya sudah diasingkan dari peradaban, “Laku ing Sasmito Amrih Lantip” kalimat cukup unik dan menarik untuk ditelaah dan dipahami kembali, makna yang disampaikan dari kalimat tersebut amatlah mendalam dan masih dianggap relevan untuk saat ini.
Dilihat dari bahasanya Laku ing Sasmito Amrih Lantip berarti seseorang yang ingin berilmu harus mengasah lahir dan batinnya. Dengan begitu orang yang berilmu mampu bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta tetap berpegang teguh pada komitmen dan kebenaran atas apa yang ia pelajari.
Laku ing Sasmito Amrih Lantip merupakan suatu konsep perilaku yang mengedepankan harmoni, kebaikan, keelokan dalam tindakan dan interaksi sehari-hari yang sudah dipegang erat oleh masyarakat jawa. kalimat Laku ing Sasmito Amrih Lantip dikutip dari Serat Wulangreh, anggitan Sri Pakubuwana IV, pada Pupuh Kinanti bait pertama, penguasaan ilmu lahir dan batin tercermin dalam kalimat "Ing Sasmito Amrih Lantip".
Umumnya, usaha untuk mendapatkan penguasaan ilmu lahir dan batin dilakukan dengan cara tirakat (Jawa) dengan berbagai jalan yang ditempuh. Konon, masyarakat jawa mulai tirakat dari yang sederhana seperti puasa mutih, hingga menyepi di tempat-tempat sunyi dan jauh dari keramaian. Hal itu sesuai dengan maksud dari bait pertama Pupuh Kinanti dalam Serat Wulangreh, yaitu terdapat langkah-langkah atau laku (Jawa) yang seharusnya dilakukan agar dapat mengendapkan kalbu sehingga menguasai ilmu lahir dan batin dengan baik.
ilustrasi kebudayaan suku jawa |
Perilaku yang mencerminkan Laku ing Sasmito Amrih Lantip melibatkan banyak aspek, mulai dari tindakan fisik atau perilaku yang menuntut terjadinya keselarasan antara tubuh, pikiran dan kalbu atau jiwa. Sehingga orang yang mengamalkan falsafah tersebut senantiasa menjaga keseimbangan dan harmoni dalam segala hal yang ia lakukan.
Selanjutnya, perilaku yang mencerminkan keelokan dalam segala aspek kehidupan. Keelokan ini termanifestasi dalam sikap rendah hati, kepedulian terhadap orang lain, dan kepekaan terhadap keindahan di sekitar. Individu yang berpedoman pada filosofi tersebut akan berusaha untuk memancarkan kebaikan dan keindahan di dunia melalui tindakan nyata dan sikap yang menginspirasi.
Tak hanya cara berperilaku tapi juga cara bertutur dengan orang lain harus mencerminkan kesopanan dan etika dalam berinteraksi dengan sesama. Falsafah tersebut mengajarkan untuk memperlakukan orang lain dengan hormat, kesopanan, dan penghargaan. Sehingga orang yang mengamalkannya akan menghindari perilaku kasar, mencela, atau merendahkan orang lain, Serta berusaha untuk mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara dengan kata-kata yang bijaksana, dan membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan orang lain.
Implementasi Falsafah tersebut bukanlah perkara yang bisa dianggap mudah, apalagi bagi generasi yang sudah serba modern yang dengan mudah melihat budaya asing dan menarik untuk ditiru. Tak heran jika banyak orang tua jawa mengatakan “Wong Jowo Ojo Nganti Lali Marang Jawane” karena melihat kondisi pemuda saat ini yang sudah gagap dengan budaya dan menganggap bahwa hal tersebut sudah kuno, mengapa harus dipelajari?
Sehingga laku tirakat seperti puasa mutih sudah jarang dilakukan, bahkan kebanyakan menginginkan penguasaan ilmu lahir dan batin tapi tanpa melalui sebuah proses alias instan. Maka perlu kemauan dan kesadaran diri yang kuat, untuk terus belajar dan tumbuh, serta komitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.
Dalam kesimpulannya, Laku ing Sasmito Amrih Lantip merupakan suatu konsep perilaku yang mengajarkan keselarasan, kesopanan, dan keelokan dalam tindakan dan interaksi sehari-hari. Melalui perilaku ini, kita dapat menjaga keseimbangan, menghormati orang lain, memancarkan kebaikan dan menciptakan dunia yang lebih baik serta harmonis.
Oleh: M Riski Fadila
0 Komentar