Ketika Pikiran Menyulam Harmoni

Ketika Pikiran Menyulam Harmoni

   Di ujung kota terlihat sebuah kampus kecil, sebagian orang hanya melihatnya sebagai tempat untuk mengejar gelar, sore itu menjadi saksi bisu bagi sebuah pergulatan pemikiran yang lebih dalam dari sekadar rutinitas akademik. Di ruang kelas yang telah usai digunakan proses belajar, empat individu dengan beberapa anggota dari divisi mereka masing-masing, dan dari latar belakang yang berbeda-beda. Sugeng Divisi kewirausahaan, Bagio Divisi keorganisasian, Suparman Divisi medkom, dan Paijo Divisi keagamaan bertemu. Masing-masing membawa sebuah narasi kecil yang berkecimpung di benak mereka, berusaha mencari keselarasan dalam dunia yang seakan-akan terus bergerak tanpa arah.

  Sugeng, dengan keyakinan yang menggebu, memulai pembicaraan:

   “Teman-teman, kampus ini memang terlihat kecil, anggaran terbatas, tapi bukankah itu justru peluang bagi kita untuk berinovasi? Kenapa kita harus terpaku pada keterbatasan? Bukankah batasan adalah ruang yang memberi kita kebebasan untuk berkarya? Program kewirausahaan, meski sederhana, bisa jadi jalan bagi kita untuk menyalurkan potensi ini. Jangan takut meminta teman-teman dari divisi lain untuk menjadi fasilitator. Kita tidak perlu menunggu semuanya sempurna, karena yang sempurna adalah yang kita buat.” 

 Sugeng berbicara seakan-akan ia telah menemukan kunci dari masalah yang mereka hadapi, seakan ingin membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir, melainkan awal dari segala kemungkinan.

 Bagio, yang dari awal mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian mengangkat suaranya:

   “Sugeng, saya paham semangatmu, namun izinkan saya bertanya terutama pada semua teman-teman: apakah kita siap untuk berkomitmen dengan segala janji yang kita buat? Mengingat sejarah kita, sejarah kampus ini yang terperangkap dalam rutinitas tanpa perubahan. Kita terlalu sering terjebak dalam siklus yang tak pernah berakhir. Apakah kita siap meninggalkan kenyamanan itu? Apakah kita benar-benar ingin memutuskan tali kebiasaan lama yang mengikat kita? Jika kita hanya berlari tanpa arah, bukankah kita akan menemukan diri kita kembali di tempat yang sama, lagi dan lagi?” 

   Bagio berbicara dengan ketegasan, seperti seorang profesor yang mempertanyakan hakikat eksistensi, menyarankan untuk tidak hanya terfokus pada masa depan, tetapi juga untuk mengevaluasi dengan jernih masa lalu.

  Paijo yang mendengarkan, mengangguk pelan. 

 “Bagio, saya rasa kita harus menyeimbangkan antara keberanian untuk bergerak maju dan kebijaksanaan untuk tidak melupakan apa yang telah ada. Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan birokrasi dan seperti hukum alam, birokrasi itu memang ada. Namun, apakah kita akan terus membiarkannya mengikat kita, atau kita bisa memodifikasi, menyederhanakan, bahkan mengubahnya agar kita dapat bergerak lebih bebas? Begitu banyak ide besar terjebak hanya karena aturan yang tidak pernah dimodifikasi. Kita harus berani membuka jalur baru, tanpa kehilangan pijakan pada apa yang telah membentuk kita.”

   Paijo berbicara dengan nada yang tenang, namun dalam, seolah-olah setiap kata yang keluar adalah bagian dari perjalanan panjang yang mengarah pada pencerahan kolektif.

   Suparman, yang sebelumnya hanya diam mendengarkan, tiba-tiba membuka mulut: 

   “Tapi, ada satu hal yang saya rasa penting. Tanpa media, tanpa komunikasi yang efektif, apa yang kita rencanakan akan tetap menjadi angan-angan. Kita bisa saja memiliki ide cemerlang, tetapi jika itu tidak dikenal, jika itu tidak didengar, apa artinya? Kami dari divisi media siap untuk mensupport setiap langkah yang kita ambil. Kami akan memastikan bahwa aspirasi ini bukan hanya milik kita, tetapi juga milik dunia luar. Dan saya siap belajar, menjadi fasilitator jika perlu, untuk menyebarkan semua ini.”

 Suparman menyuarakan pendapatnya dengan percaya diri, namun dengan ketulusan yang jelas terlihat, menyadari bahwa setiap tindakan harus diimbangi dengan komunikasi yang jernih agar bisa dipahami oleh semua pihak.

  Bagio kembali angkat bicara, kali ini dengan wajah lebih berseri: 

   Nah, begitu seharusnya kita bergerak. Kami semua di sini memiliki tugas yang berbeda, tetapi satu tujuan. Jika kita semua bekerja dengan komitmen penuh, maka inilah langkah awal yang akan memandu kampus ini keluar dari kebuntuan. Ini bukan hanya tentang kewirausahaan, bukan hanya tentang organisasi, atau media. Ini tentang bagaimana kita menjadikan kampus ini sebagai tempat di mana aspirasi mahasiswa dihargai, dan bakat-bakat mereka dapat tumbuh tanpa batas.”

  Paijo mengangguk pelan, menambahkan dengan serius, 

   “Sepakat, kita harus menunjukkan kepada dunia luar bahwa kampus kecil ini bukan hanya besar karena konfliknya, tetapi juga karena kemampuannya untuk menghidupkan, serta mengembangkan berbagai aspirasi. Kita bisa menjadi semacam laboratorium pemikiran, di mana setiap ide, sekecil apa pun, memiliki ruang untuk berkembang dan dicoba. Seperti halnya sebuah orkestra, setiap instrumen meskipun berbeda dapat menghasilkan sebuah melodi indah jika dimainkan dengan harmoni.”

  Paijo mengakhiri dengan senyuman lembut, menambah kekuatan pada apa yang telah disampaikan sebelumnya.

    Saat adzan maghrib mulai berkumandang, ruang itu terdiam sejenak. Ada semacam keheningan yang mengisi ruang, seperti pemahaman yang mulai meresap di dalam diri masing-masing. Sore itu bukan hanya adzan yang menggema, tetapi sebuah kesadaran baru yang perlahan tumbuh. Mereka sadar bahwa perubahan itu tidak datang dari omong kosong atau harapan yang tak terjangkau. Perubahan itu adalah hasil dari setiap percakapan yang tulus, dari komitmen yang diambil dengan penuh kesadaran.

   Mungkin, dunia luar tidak akan langsung melihatnya, tetapi bagi mereka yang berada di dalam kampus kecil itu, sore itu adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju sebuah harmoni di mana setiap perbedaan, setiap dissonansi, bisa menjadi sebuah melodi yang indah jika dimainkan dengan niat dan tujuan yang benar. Dan, seperti yang dikatakan Paijo, 

   “Terkadang, narasi besar bisa datang dari narasi-narasi kecil, yang tak pernah terlihat, tetapi ia terus bergerak, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti.”


Penulis: ZAR

Posting Komentar

1 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement