Simulakra: Jebakan Mahasiswa

Gambar Ilustrasi 


Didalam kehidupan kampus terdapat kisah suka maupun duka. Dari suka dan duka mendapat banyak hal yang tak terlupakan. Kisah tiga mahasiswa yang sedang bertarung di kampus. Kisah ini berjudul "Simulakra: Jebakan Mahasiswa"

Di tengah kota kecil, berdirilah sebuah kampus yang tak  megah, namun penuh dengan hiruk-pikuk kepentingan yang diam-diam saling bertarung. Kampus ini, dalam sederhananya, seperti sebuah ruang simulakra, tempat di mana realitas dan kepalsuan bercampur dan tak lagi dapat dibedakan. Bukan bangunannya yang tampak besar, tapi bayangan konflik yang dibuat seolah nyata, dan aktor-aktornya berperan demi melanggengkan hierarki simbolik yang hanya ilusi.

Di sinilah Paijo, Slamet, dan Sugeng berada. Mereka bertiga, tak jauh beda dari mahasiswa lainnya, terjebak dalam permainan simbolik yang melekat di setiap dinding, setiap forum, dan setiap tindakan. Paijo, dengan hasrat besarnya akan perubahan, mencoba memahami struktur kampus ini melalui organisasi mahasiswa. Ia pernah berpikir bahwa organisasi adalah jalan menuju perubahan. Namun, semakin lama ia terlibat, semakin ia menyadari bahwa struktur tersebut bukanlah struktur nyata yang mendukung pendidikan atau kesejahteraan mahasiswa; itu hanya tiruan dari birokrasi besar yang lebih kuat, yang bekerja dengan logika bayangan.

Mereka bertiga berdiskusi di ruang perpustakaan yang sunyi. 
"Ini bukan lagi soal aspirasi atau cita-cita mahasiswa," gumam Paijo pada mereka. 
 "Ini soal bagaimana kita membangun bayangan, ilusi tentang ‘kemajuan’ dan ‘perjuangan’ yang tak pernah benar-benar dimaksudkan untuk diwujudkan." Balas Slamet

Slamet, yang memandang dunia kampus dari sisi sinis, melihat apa yang disebut organisasi mahasiswa ini sebagai perangkat yang menciptakan realitas palsu, realitas yang dikonstruksi demi melanggengkan kekuasaan mereka yang sudah berada di atas.
“Jo, yang kau lihat bukanlah kenyataan. Yang kau lihat hanyalah pencitraan yang mereka bangun dari narasi ‘kemahasiswaan.’ Seperti halnya dalam simulakra, nilai yang mereka ciptakan bukan berasal dari kebutuhan nyata kita, tapi dari penggambaran, dari simbol-simbol kosong yang tak berakar pada realitas,” kata Slamet.

Sugeng mengangguk setuju, dengan pandangan kosong namun penuh makna. Baginya, kampus ini sudah menyerupai labirin yang penuh tanda-tanda, dan tiap tanda merujuk pada tanda lainnya, bukan pada kenyataan. Sugeng tak pernah masuk dalam politik kampus, namun ia menyadari dirinya hanyalah objek yang diproyeksikan oleh kubu-kubu yang bersaing. Ia dan mahasiswa lainnya hanya menjadi umpan, simbol-simbol yang dibuat demi menggiring opini, memantapkan posisi, tanpa sedikit pun menyinggung realitas hidup mereka.

Ketika kita terlibat, kita sebenarnya terjebak dalam jaringan bayangan yang mereka ciptakan,” ujar Sugeng. 

Lalu, ia menambahkan:  

 “Setiap aksi, setiap gerakan, bukan untuk kita, tapi untuk memperkuat identitas mereka, simbol mereka, yang mereka sebut ‘pejuang mahasiswa’. Tapi di sini, kita tak lebih dari sekadar entitas tanpa wajah yang ada untuk dibentuk dan dikendalikan.”

Malam itu, ketiganya tenggelam dalam perbincangan kritis, menyadari betapa kampus kecil ini telah menjadi ruang di mana simbol-simbol kosong dikukuhkan, di mana idealisme dijadikan bahan jualan, sementara realitas mahasiswa sehari-hari tenggelam dalam tumpukan retorika.

Paijo termenung. Ia merasakan absurditas dari semua yang selama ini ia perjuangkan. “Mungkin benar kata-kata Baudrillard,” gumamnya. “Kampus ini bukan lagi kampus. Ia hanya bayangan dari bayangan tentang kampus. Organisasi mahasiswa bukan lagi organisasi; ia adalah simulakra, dan setiap anggotanya, termasuk aku, hanyalah aktor dalam drama yang dibuat untuk mengukuhkan bayangan itu.”

Slamet tersenyum miring, sembari berkata:
”Mungkin kita memang tak bisa keluar dari lingkaran ini. Simulakra itu mengikat, Jo. Begitu kita menjadi bagian dari simbol itu, kita menjadi bagian dari bayangan yang mereka bangun.”

Sugeng, yang selama ini selalu diam, akhirnya bicara. 
“Barangkali kesadaran ini adalah satu-satunya yang tersisa. Bahwa kita bisa memahami keterjebakan kita, meski tak mudah untuk keluar. Setidaknya, kita tahu bahwa ‘kampus’ ini bukan lagi ruang belajar yang nyata, tapi sebuah teater di mana mahasiswa memainkan peran-peran yang tak mereka pilih.”

Kampus kecil yang tak megah itu, dalam kebisingannya yang seolah penuh harapan, sesungguhnya tak lebih dari sebuah simulasi yang menjebak, sebuah tatanan simbol yang tanpa isi, hanya rangkaian bayangan yang diselimuti oleh citra kemahasiswaan yang hampa. Mereka bertiga menyadari bahwa kesadaran mereka terhadap ketidakotentikan ini, mungkin adalah satu-satunya realitas yang tersisa di balik simulakra yang menyelimuti dinding kampus kecil itu.


Penulis: ZAR

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement